ASWAJA
Aswaja
versi bahasa terdiri dari tiga kata, Ahlu, Al-Sunnah, dan Al-Jama’ah. Kata Ahlu
diartikan sebagai keluarga, komunitas, atau pengikut. Kata Al-Sunnah
diartikan sebagai jalan atau karakter. Sedangkan kata Al-Jamaah
diartikan sebagai perkumpulan. Arti Sunnah secara istilah adalah segala
sesuatu yang diajarkan Rasulullah SAW., baik berupa ucapan, tindakan, maupun
ketetapan. Sedangkan Al-Jamaah bermakna sesuatu yang telah disepakati
komunitas sahabat Nabi pada masa Rasulullah SAW. dan pada era pemerintahan Khulafah
Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali). Dengan demikian Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah
komunitas orang-orang yang selalu berpedoman kepada sunnah Nabi Muhammad SAW.
dan jalan para sahabat beliau, baik dilihat dari aspek akidah, agama, amal-amal
lahiriyah, atau akhlak hati. Jama’ah mengandung beberapa pengertian,
yaitu: kaum ulama atau kelompok intelektual; golongan yang terkumpul dalam
suatu pemerintahan yang dipimpin oleh seorang amir; golongan yang di dalamnya
terkumpul orang-orang yang memiliki integritas moral atau akhlak, ketaatan dan
keimanan yang kuat; golongan mayoritas kaum muslimin; dan sekelompok sahabat
Nabi Muhammad SAW.
Menurut Imam Asy’ari, Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah
golongan yang berpegang teguh kepada al-Qur’an, hadis, dan apa yang
diriwayatkan sahabat, tabi’in, imam-imam hadis, dan apa yang disampaikan oleh
Abu Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal.
Menurut KH. M. Hasyim Asy’ari, Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah
golongan yang berpegang teguh kepada sunnah Nabi, para sahabat, dan mengikuti
warisan para wali dan ulama. Secara spesifik, Ahlusssunnah Wal Jamaah yang berkembang di Jawa adalah mereka
yang dalam fikih mengikuti Imam Syafi’i, dalam akidah mengikuti Imam Abu
al-Hasan al-Asy’ari, dan dalam tasawuf mengikuti Imam al-Ghazali dan Imam Abu
al-Hasan al-Syadzili. Menurut Muhammad Khalifah al-Tamimy, Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah para
sahabat, tabiin, tabiit tabi’in dan siapa saja yang berjalan menurut pendirian
imam-imam yang memberi petunjuk dan orang-orang yang mengikutinya dari seluruh
umat semuanya.
Definisi di atas meneguhkan kekayaan
intelektual dan peradaban yang dimiliki Ahlusssunnah Wal Jamaah, karena tidak hanya bergantung kepada
al-Qur’an dan hadits, tapi juga mengapresiasi dan mengakomodasi warisan
pemikiran dan peradaban dari para sahabat dan orang-orang salih yang sesuai
dengan ajaran-ajaran Nabi. Terpaku dengan al-Qur’an dan hadis dengan membiarkan
sejarah para sahabat dan orang-orang saleh adalah bentuk kesombongan, karena
merekalah generasi yang paling otentik dan orisinal yang lebih mengetahui
bagaimana cara memahami, mengamalkan dan menerjemahkan ajaran Rasul dalam
perilaku setiap hari, baik secara individu, sosial, maupun kenegaraan.
Berpegang kepada al-Qur’an dan hadis ansich, bisa mengakibatkan
hilangnya esensi (ruh) agama, karena akan terjebak pada aliran dhahiriyah
(tekstualisme) yang mudah menuduh bid’ah kepada komunitas yang dijamin masuk
surga, seperti khalifah empat.
Di Indonesia, yang paling dominan
adalah mengikuti Imam Asy’ari dalam aspek aqîdah, Imam Syâfi’i dalam aspek
fiqh, dan Imam Ghazâli dalam aspek tasawuf. Karya-karya mereka dikaji di
pesantren, madrasah, majlis ta’lim, masjid, mushalla, dan lain-lain. Imam Asy’ari terkenal dengan
kemampuannya menggabungkan dimensi rasionalitas Mu’tazilah (karena lama menjadi
pengikut Mu’tazilah) dan tradisionalitas Jabariyah (fatalistik). Teori kasb (upaya/usaha)
adalah buktinya. Teori ini dimunculkan sebagai mediasi antara kaum rasionalis
dan tradisionalis, bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk berusaha, namun
hasil akhirnya berada dalam kekuasaan Allah.
Imam Syâfi’i terkenal dengan
kemampuannya menggabungkan rasionalitas ahlu al-ra’yi (pengikut Imam
Hanafi di Irak) dan tradisionalitas ahlu al-hadîs (pengikut Imam Mâlik
di Madinah). Konsep qiyâs (analogi) dan istiqrâ’ (penelitian
induktif) dalam menjawab masalah-masalah aktual adalah pemikiran cemerlang Imam
Syâfi’i yang menggemparkan jagat intelektualitas pada masa itu. Sedangkan Imam Ghazâli terkenal
dengan kemampuannya menggabungkan rasionalitas filosof, formalitas ahli fiqh,
dan esoteritas kaum sufi. Ihyâ’ Ulûmiddîn adalah master piece
Al-Ghazali yang mengandung kedalaman kajian aqîdah, filsafat, fiqh, tasawuf,
sosial dan politik dalam satu kesatuan yang holistik. Tasawuf falsafi dan
amali digabungkan dalam satu pemikiran dan tindakan yang membawa
perubahan positif bagi masa depan dunia dan akhirat.
Dalam sejarah perkembangannya Ahlussunnah Wal Jamaah selalu dinamis dalam menjawab perkembangan zaman tetapi tetap memegang
prinsip dalam mengamalkan ajarannya. Diantara prinsip Ahlussunnah Wal Jamaah di dalam sejarah perkembangannya di berbagai aspek kehidupan meliputi
Aqidah, pengambilan hukum (Syariah), tasawuf/akhlak dan bidang sosial-politik
dengan penjabaran sebagai berikut:
Aswaja menekankan bahwa pilar utama
ke-Imanan manusia adalah Tauhid, sebuah keyakinan yang teguh dan murni yang ada
dalam hati setiap Muslim bahwa Allah-lah yang Menciptakan, Memelihara dan
Mematikan kehidupan semesta alam. Ia Esa, tidak terbilang dan tidak memiliki
sekutu.
Pilar yang kedua adalah Nubuwwat, yaitu dengan
meyakini bahwa Allah telah menurunkan wahyu kepada para Nabi dan Rosul sebagai
utusannya. Sebuah wahyu yang dijadikan sebagai petunjuk dan juga acuan ummat
manusia dalam menjalani kehidupan menuju jalan kebahagiaan dunia dan akhirat,
serta jalan yang diridhai oleh Allah SWT. Dalam
doktrin Nubuwwat ini, ummat manusia harus meyakini dengan sepebuhnya
bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT, yang membawa risalah (wahyu)
untuk umat manusia. Dia adalah Rasul terakhir, yang
harus diikuti oleh setiap manusia.
Pilar yang ketiga adalah Al-Ma’ad, sebuah
keyakinan bahwa nantinya manusia akan dibangkitkan dari kubur pada hari kiamat
dan setiap manusia akan mendapat imbalan sesuai amal dan perbuatannya (yaumul
jaza’). Dan mereka semua akan dihitung (hisab) seluruh
amal perbuatan mereka selama hidup di dunia. Mereka yang banyak beramal baik
akan masuk surga dan mereka yang banyak beramal buruk akan masuk neraka.
Hampir seluruh kalangan Sunni menggunakan
empat sumber hukum
yaitu:
a) Al-Qur’an
Al-Qur’an
sebagai sumber utama dalam pengambilan hukum (istinbath al-hukm) tidak
dibantah oleh semua madzhab fiqh.Sebagai sumber hukum naqli posisinya
tidak diragukan.Al-Qur’an merupakan sumber hukum tertinggi dalam Islam.
b) As-Sunnah
As-Sunnah
meliputi al-Hadist dan segala tindak dan perilaku Rasul SAW, sebagaimana
diriwayatkan oleh para Shabat dan Tabi’in. Penempatannya ialah setelah proses istinbath
al-hukm tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, atau digunakan sebagai komplemen
(pelengkap) dari apa yang telah dinyatakan dalam Al-Qur’an.
c) Ijma’
Menurut Abu Hasan Ali Ibn Ali Ibn
Muhammad Al-Amidi, Ijma’ adalah Kesepakatan kelompok legislatif (ahl
al-halli wa al-aqdi) dan ummat Muhammad pada suatu masa terhadap suatu hukum
dari suatu kasus. Atau kesepakatan orang-orang
mukallaf dari ummat Muhammada pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu
kasus. Dalam Al-Qur’an dasar Ijma’ terdapat
dalam QS An-Nisa’, 4: Dan QS Al-Baqarah, 2: 143.
d) Qiyas
Qiyas, sebagai sumber hukum Islam, merupakan
salah satu hasil ijtihad para Ulama.Qiyas yaitu mempertemukan
sesuatu yang tak ada nash hukumnya dengan hal lain yang ada nash hukumnya
karena ada persamaan ‘illat hukum. Qiyas sangat
dianjurkan untuk digunakan oleh Imam Syafi’i.
Imam Abu Hamid Al-Tusi Al-Ghazali
menjelaskan “Tasawuf adalah menyucikan hati dari apa saja selain Allah. kaum sufi
adalah para pencari di Jalan Allah, dan perilaku mereka adalah perilaku yang
terbaik, jalan mereka adalah jalan yang terbaik, dan pola hidup mereka adalah
pola hidup yang paling tersucikan. Mereka telah membersihkan hati mereka dari
berbagai hal selain Allah dan menjadikannya sebagai saluran tempat mengalirnya
sungai-sungai yang membawa ilmu-ilmu dari Allah.” kata Imam
Al-Ghazali. Seorang sufi adalah mereka yang mampu membersihkan hatinya dari
keterikatan selain kepada-Nya.
Ketidakterikatan kepada apapun
selain Allah SWT adalah proses batin dan perilaku yang harus dilatih bersama
keterlibatan kita di dalam urusan sehari-hari yang bersifat duniawi. Zuhud
harus dimaknai sebagai ikhtiar batin untuk melepaskan diri dari keterikatan
selain kepada-Nya tanpa meninggalkan urusan duniawi. Mengapa?
karena justru di tengah-tengah kenyataan duniawi posisi manusia sebagai Hamba
dan fungsinya sebagai Khalifah harus diwujudkan.
Banyak contoh sufi atau ahli tasawuf
yang telah zuhud namun juga sukses dalam ukuran duniawi. Kita lihat saja
Imam Al-Junaid adalah adalah pengusaha botol yang sukses, Al-Hallaj sukses
sebagai pengusaha tenun, Umar Ibn Abd Aziz adalah seorang sufi yang sukses
sebagai pemimpin negara, Abu Sa’id Al Kharraj sukses sebagai pengusaha
konveksi, Abu Hasan al-Syadzily sukses sebagai petani, dan Fariduddin al-Atthar
sukses sebagai pengusaha parfum. Mereka adalah sufi yang pada maqomnya tidak
lagi terikat dengan urusan duniawi tanpa meninggalkan urusan duniawi.
Urusan duniawi yang mendasar bagi manusia adalah seperti
mencari nafkah (pekerjaan), kemudian berbuntut pada urusan lain seperti
politik. Dari urusan-urusan itu kita lantas bersinggungan dengan soal-soal
ekonomi, politik-kekuasaan, hukum, persoalan sosial dan budaya. Dalam Tasawuf
urusan-urusan tersebut tidak harus ditinggalkan untuk mencapai zuhud, justru
kita mesti menekuni kenyataan duniawi secara total sementara hati/batin kita
dilatih untuk tidak terikat dengan urusan-urusan itu. Di situlah zuhud
kita maknai, yakni zuhud di dalam batin sementara aktivitas sehari-hari
kita tetap diarahkan untuk mendarmabaktikan segenap potensi manusia bagi
terwujudnya masyarakat yang baik
Berbeda dengan golongan Syi’ah
yang memiliki sebuah konsep negara dan mewajibkan berdirinya negara (imamah),
Pandangan Syi’ah tersebut juga berbeda dengan golongan Khawarij yang
membolehkan komunitas berdiri tanpa imamah apabila dia telah mampu
mengatur dirinya sendiri. Ahlussunnah
wal-jama’ah dan golongan sunni umumnya memandang negara sebagai
kewajiban fakultatif (fardhu kifayah). Bagi ahlussunnah wal jama’ah,
negara merupakan alat untuk mengayomi kehidupan manusia untuk menciptakan dan
menjaga kemashlahatan bersama (mashlahah musytarakah).
Ahlussunnah wal-Jama’ah tidak
memiliki konsep bentuk negara yang baku. Sebuah negara boleh berdiri atas dasar
teokrasi, aristokrasi (kerajaan) atau negara-modern/demokrasi, asal mampu
memenuhi syarat-syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah negara. Apabila
syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka gugurlah otoritas (wewenang)
pemimpin negara tersebut. Syarat-syarat itu adalah.
Negara harus mengedepankan
musyawarah dalam mengambil segala keputusan dan setiap keputusan, kebijakan dan
peraturan. Salah satu ayat yang menegaskan musyawarah adalah (QS Al-Syura,
42: 36-39)
Keadilan adalah salah satu Perintah
yang paling banyak ditemukan dalam Al-Qur’an. Prinsip ini
tidak boleh dilanggar oleh sebuah pemerintahan, apapun bentuk pemerintahan itu.salah satu ayat
dalam Al-Qur an terdapat pada QS An-Nisa, 4: 58
Negara wajib menciptakan dan menjaga
kebebasan bagi warganya. Kebebasan
tersebut wajib hukumnya karena merupakan kodrat asasi setiap manusia. Prinsip
kebebasan manusia dalam Syari’ah dikenal dengan Al-Ushulul-Khams
(prinsip yang lima) yang identik dengan konsep Hak Azazi
Manusia yang lebih dikenal dalam dunia modern bahkan mungkin di kalangan ahlussunnah
wal-jama’ah. Lima pokok atau prinsip ini menjadi
ukuran baku bagi legitimasi sebuah kepemerintahan sekaligus menjadi acuan bagi
setiap orang yang menjadi pemimpin di kelak kemudian hari. Lima pokok
atau prinsip tersebut yaitu:
1. Hifzhu al-Nafs (menjaga jiwa); adalah kewajiban setiap kepemimpinan
(negara) untuk menjamin kehidupan setiap warga negara; bahwa setiap warga
negara berhak dan bebas untuk hidup dan berkembang dalam wilayahnya.
2. Hifzhu al-Din (menjaga agama); adalah
kewajiban setiap kepemimpinan untuk menjamin kebebasan setiap orang memeluk,
meyakini dan menjalankan Agama dan Kepercayaannya. Negara tidak berhak memaksakan atau
melarang sebuah agama atau kepercayaan kepada warga negara.
3. Hifzhu al-Mal (menjaga harta
benda);
adalah kewajiban setiap kepemimpinan untuk menjamin keamanan harta benda yang
dimiliki oleh warga negaranya. Negara wajib memberikan jaminan keamanan dan
menjamin rakyatnya hidup sesuai dengan martabat rakyat sebagai manusia.
4. Hifzhual-Nasl; bahwa negara wajib memberikan
jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara.
Negara harus menjaga kekayaan budaya (etnis), tidak boleh mangunggulkan dan
memprioritaskan sebuah etnis tertentu. Hifzhu al-Nasl berarti negara
harus memperlakukan sama setiap etnis yang hidup di wilayah negaranya.
Hifzh al-‘Irdh; jaminan terhadap harga diri,
kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara. Negara
tidak boleh merendahkan warga negaranya karena profesi dan pekerjaannya. Negara
justru harus menjunjung tinggi dan memberikan tempat yang layak bagi setiap
warga negara.
Bahwa manusia diciptakan sama oleh
Allah SWT. Antara satu manusia dengan mausia lain, bangsa dengan bangsa yang
lain tidak ada pembeda yang menjadikan satu manusia atau bangsa lebih tinggi
dari yang lain. Manusia diciptakan berbeda-beda adalah untuk mengenal antara
satu dengan yang lain. Sehingga tidak dibenarkan satu manusia dan sebuah bangsa
menindas manusia dan bangsa yang lain. Hai ini termaktub dalan QS. Al-Hujuraat,
49: 13
Perbedaan bukanlah semata-mata fakta
sosiologis, yakni fakta yang timbul akibat dari relasi dan proses sosial.
Perbedaan merupakan keniscayaan teologis yang Dikehendaki oleh Allah SWT.
Demikian disebutkan dalam surat Al-Ma’idah; 5: 48
Dalam sebuah negara kedudukan warga
negara adalah sama. Orang-orang yang menjabat di tubuh pemerintahan memiliki
kewajiban yang sama sebagai warga negara. Mereka memiliki jabatan semata-mata
adalah untuk mengayomi, melayani dan menjamin kemashlahatan bersama, dan tidak
ada privilege (keistimewaan) khususnya di mata hukum.Negara justru harus
mampu mewujudkan kesetaraan derajat antar manusia di dalam wilayahnya, yang
biasanya terlanggar oleh perbedaan status sosial, kelas ekonomi dan jabatan
politik.
Dengan prinsip-prinsip di atas, maka
tidak ada doktrin Negara Islam, Formalisasi Syari’at Islam dan Khilafah
Islamiyah bagi Ahlussunnah wal-Jama’ah. Sebagaimana
pun tidak didapati perintah dalam Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas untuk
mendirikan salah satu di antara ketiganya. Islam hanya
diharuskan untuk menjamin agar sebuah pemerintahan – baik negara maupun
kerajaan – harus mampu memenuhi 4 (empat) kriteria di atas.
Ada lima istilah utama yang diambil dari Al Qur’an dan
Hadits dalam menggambarkan karakteristik Ahlus sunnah wal jama’ah
sebagai landasan dalam bermasyarakat atau sering disebut dengan konsep Mabadiu
Khaira Ummat yakni sebuah gerakan untuk mengembangkan identitas dan
karakteristik anggota Nahdlatul ‘Ulama dengan pengaturan nilai-nilai mulia dari
konsep keagamaan Nahdlatul ‘Ulama, antara lain :
Tawassuth berarti pertengahan, maksudnya menempatkan diri
antara dua kutub dalam berbagai masalah dan keadaan untuk mencapai kebenaran
serta menghindari keterlanjuran ke kiri atau ke kanan secara berlebihan
I’tidal berarti tegak lurus, tidak condong ke kanan dan
tidak condong ke kiri.I’tidal juga berarti berlaku adil, tidak berpihak kecuali
pada yang benar dan yang harus dibela.
Tasamuih
berarti sikap toleran pada pihak lain, lapang dada, mengerti dan menghargai
sikap pendirian dan kepentingan pihak lain tanpa mengorbankan pendirian dan
harga diri, bersedia berbeda pendapat, baik dalam masalah keagamaan maupun
masalah kebangsaan, kemasyarakatan, dan kebudayaan.
Tawazun
berarti keseimbangan, tidak berat sebelah, tidak kelebihan sesuatu unsur atau
kekurangan unsur lain.
Amar ma’ruf nahi munkar artinya menyeru dan mendorong
berbuat baik yang bermanfaat bagi kehidupan duniawi maupun ukhrawi, serta
mencegah dan menghilangkan segala hal yang dapat merugikan, merusak,
merendahkan dan atau menjerumuskan nilai-nilai moral keagamaan dan kemanusiaan.
Dalam menapaki kehidupan modern kader Ahlusssunnah Wal Jamaah Nahdliyah di
masa depan harus selalu tanggap mampu menguasai tiga bidang di atas sekaligus. Ahli di bidang aqîdah, fiqh, dan
tasawuf yang membawa perubahan dan kemajuan besar bagi peradaban dunia.
Tidak hanya itu, kader Ahlusssunnah Wal Jamaah juga harus menguasai tafsir, hadis, dan pemikiran para
pemikir Islam dalam semua bidang, karena Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah golongan yang mengikuti sunnah Nabi, khulafâ’
al-râsyidîn, dan golongan mayoritas umat (al-sawâdu al-a’dham). Mengikuti
jejak pemikiran dan perjuangan KH. Abdul Wahid Hasyim, KH. Abdurrahman Wahid,
KH. Ahmad Shidiq, KH. Ali Ma’shum, KH. MA. Sahal Mahfudh, KH. Musthofa Bisyri,
dan KH. Sa’id Aqil Siradj adalah langkah terbaik untuk mengembangkan Ahlusssunnah Wal Jamaah secara dinamis dan produktif.
Semangat membaca dari berbagai sumber pengetahuan, baik Barat maupun Timur,
mengapresiasi pemikiran dan budaya lokal, menulis buku dan kitab, berjuang
mencerdaskan umat dan menyejahterakan rakyat, dan aktif melakukan kaderisasi
adalah kunci sukses dalam mengembangkan Ahlusssunnah Wal Jamaah. Kader Ahlusssunnah Wal Jamaah juga harus mampu menepis tuduhan
sepihak yang dilontarkan kelompok lain yang mengatakan bahwa banyak praktek
budaya yang dilakukan warga NU termasuk bid’ah tersesat yang ancamannya
adalah masuk neraka.
Agar semakin shalih likulli zamân wa
makân, aplikabel di setiap masa dan ruang sekaligus menjadi sentral gerakan dalam menjaga
stabilitas sosial keagamaan yang rahmatan lil ‘alamin. Aswaja harus diposisikan sebagai metode berpikir
dan bertindak yang berarti menjadi alat (tools) untuk mencari,
menemukan, dan menyelesaikan berbagai permasalahan sosial. Sebagai alat, maka sikap proaktif untuk mencari
penyelesaian menjadi lebih bersemangat guna melahirkan
pikiran-pikiran yang kreatif dan orisinil. Dalam hal ini pendapat
para ulama terdahulu tetap ditempatkan dalam kerangka lintas-komparatif,
namun tidak sampai harus menjadi belenggu pemikiran yang dapat mematikan atau
membatasi kreativitas. Perubahan kultur dan pola pikir ini juga dapat dilihat
dalam prosedur perumusan hukum dan ajaran Ahlusunnah wal Jama’ah dalam tradisi
jam’iyah Nahdlatul ‘Ulama yang menggunakan pola Maudhu’iyah (tematik)
atau terapan (Qonuniyah) yang berbentuk tashawur lintas disiplin
keilmuan empiric dan Waqi’iyah (kasuistik) dengan pendekatan tathbiq
al-syari’ah dan metode takhayyur (eklektif). Menurut Badrun (2000), terdapat lima
ciri yang perlu diperhatikan dalam memosisikan aswaja sebagai manhaj
al-fikr atau manhaj al-amal:
- Selalu mengupayakan untuk interpretasi ulang dalam mengkaji teks-teks fiqih untuk mencari konteksnya yang baru;
- Makna bermadzhab diubah dari bermadzhab secara tekstual (madzhab qauly) menjadi bermadzhab secara metodologis (madzhab manhajy);
- Melakukan verifikasi mendasar terhadap mana ajaran yang pokok (ushul) dan mana yang cabang (furu’);
- Fiqih dihadirkan sebagai etika sosial, bukan sebagai hukum positif;
- Melakukan pemahaman metodologi pemikiran filosofis terutama dalam masalah-masalah sosial dan budaya.
Menurut KH. Said Agil Siradj, Ahlussunnah
Waljamaah adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang
mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi,
menjaga keseimbangan, dan toleransi. Baginya Ahlussunnah Waljamaah harus
diletakkan secara proporsional, yakni Ahlussunnah Waljamaah bukan
sebagai mazhab, melainkan sebuah manhaj al-fikr (pendekatan berpikir tertentu) yang
digariskan oleh sahabat dan para muridnya, yaitu generasi tabi’in yang memiliki
intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam menyikapi situasi politik
ketika itu. Namun harus diakui bahwa kelahiran Ahlussunnah Waljamaah
sebagai manhaj al-fikr tidak terlepas dari pengaruh tuntutan
realitas sosio-kultural dan sosio-politik yang melingkupinya.
Dalam merespon berbagai persoalan baik yang berkenaan
dengan persoalan keagamaan maupun kemasyarakatan, Nahdlatul ‘Ulama memiliki manhaj
Ahlusunnah wal Jama’ah yang dijadikan sebagai landasan berpikir
Nahdlatul ‘Ulama (Fikrah Nahdliyah). Adapun ciri-ciri dari Fikrah
Nahdliyah antara lain.
- Fikrah Tawassuthiyah (polapikir moderat), artinya Nahdlatul ‘Ulama senantiasa bersikap tawazun (seimbang) dan I’tidal (moderat) dalam menyikapi berbagai persoalan.
- Fikrah Tasamuhiyah (polapikir toleran), artinya Nahdlatul ‘Ulama dapat hidup berdampingan secara damai dengan berbagai pihak lain walaupun aqidah, cara piker, dan budayanya berbeda.
- Fikrah Ishlahiyyah (pola pikir reformatif), artinya Nahdlatul ‘Ulama selalu mengupayakan perbaikan menuju kea rah yang lebih baik (al ishlah ila ma huwa al ashlah).
- Fikrah Tathawwuriyah (polapikir dinamis), artinya Nahdlatul ‘Ulama senantiasa melakukan kontekstualisasi dalam merespon berbagai persoalan.
- Fikrah Manhajiyah (polapikir metodologis), artinya Nahdlatul ‘Ulama senantiasa menggunakan kerangka berpikir yang mengacu kepada manhaj yang telah ditetapkan oleh Nahdlatul ‘Ulama.
Konsep Fikrah Nahdliyah itulah yang menyebabkan
Nahdlatul ‘Ulama nampak sebagai organisasi social keagamaan yang sangat
moderat, toleran, dinamis, progressif dan modern. Secara konseptual sebenarnya
pola pikir Nahdlatul ‘Ulama tidak tradisionalis, ortodok,
ataupun konservativ, hal ini bisa kita lihat pada perkembangan intelektual
di lingkungan Nahdlatul ‘Ulama khususnya kaum muda Nahdlatul ‘Ulama yang
menunjukkan kecenderungan radikal dalam berpikir dan moderat dalam
bertindak sebagaimana laporan penelitian Mitsuo Nakamura saat mengikuti
Muktamar Nahdlatul ‘Ulama Ke-26 di Semarang (1979), demikian pula Martin Van
Bruinessen (1994).
Jika aswaja dipahami dengan
benar dan menjadi acuan bertindak dalam kehidupan maka akan mampu
memfilter pengaruh globalisasi dan masuknya budaya luar yang dapat memicu
munculnya sikap adopsi budaya yang negatif seperti tidak toleran terhadap
perbedaan, kekerasan, dan berbagai macam bentuk sikap negatif lainnya yang
kesemuanya dapat menodai karakter kelompok Islama aswaja yang dikenal
memiliki sikap kearifan, moderat, menghargai budaya lokal, menghargai
perbedaan dan anti kekerasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar